JAKARTA--Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia menyesalkan sikap aparat penegak hukum yang lamban menindaklanjuti aksi pemblokiran Bandara Soa, Ngada, NTT, akhir pekan lalu. Jika hal ini dibiarkan, tak hanya mencoreng citra penerbangan juga menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih. Hal itu diungkapkan Yudi di Jakarta, Senin (23/12/2013).
Yudi mengungkap hal itu sebagai wujud kekecewaannya atas lambannya penanganan kasus ini oleh aparat. Apalagi, sejumlah media memberikan bahwa kasus ini telah diselesaikan secara kekeluargaan.
“Dari pemberitaan di media, kasus ini sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Bahkan, pihak Merpati meminta maaf. Ini aneh dan jadi preseden buruk penegakan hukum kita. Kejadian pemblokiran bandara Turelelo dan menghadang pendaratan pesawat Merpati dengan memarkir mobil di landasan jelas-jelas merupakan membahayakan keselamatan penerbangan dan sudah melanggar UU Penerbangan dan UU No.9 tahun 1998 tentang Unjuk rasa. Seharusnya aparat segera bertindak karena ini termasuk tindakan pidana,” ujar Yudi.
Menurut Yudi, kasus pemblokiran bandara Turelelo, akhir pekan lalu, adalah tindak pidana umum yang harus segera ditangani tanpa perlu delik aduan. Karena tak hanya mengganggung penyelenggaraan penerbangan dan membuat kacau jadwal penerbangan ke Ngada, aksi koboi Bupati Marianus Sae sangat membahayakan penerbangan dan mengganggu ketertiban umum serta akan berdampak buruk pada citra penerbangan Indonesia dimata dunia internasional.
Untuk itu, Yudi meminta aparat kepolisian untuk segera menjerat Bupati Marianus Sae dengan sanksi sesuai UU penerbangan. Berdasarkan pasal Pasal 210 UU Penerbangan, setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di Bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas Bandar udara.
Adapun sanksinya sebagaimana diatur dalam pasal 421 UU Penerbangan, setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dan hukuman lebih berat dikenakan pada orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
“Apa yang dilakukan Bupati Ngada kemarin jelas-jelas melanggar pasal 210 dan membuat halangan (obstacle) di landasan sehingga pesawat tidak dapat mendarat. Sesuai UU Penerbangan, sanksi pidananya adalah 3 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar. Dan hal ini tidak cukup diselesaikan secara kekeluargaan. Harus ada sanksi agar memberikan efek jera dan tidak menjadi preseden buruk. Karena itu, hukum harus ditegakan agar tidak menjadi preseden buruk,” tegas Yudi.
Tak hanya UU Penerbangan yang dilanggar Bupati Ngada dan para Sat Pol PP-nya, tapi juga UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Dalam pasal 9 ayat (2) UU No.9 tahun 1998 ditegaskan bahwa pelabuhan udara merupakan salah satu tempat terlarang untuk melakukan aksi unjuk rasa. Terhadap pelanggaran tersebut, pasal 16 UU ini memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Posting Komentar